MUNADA
oleh Suhairiansyah
Huruf Nida’
Huruf
nida’ ada tujuh, yaitu (ياَ), (أ), (أَيْ), (آ), (هَياَ), (أَياَ) dan (وَا).2
(أَيْ) dan
(أَ)
digunakan untuk menyeru sesuatu yang dekat. (أَياَ), (هَياَ) dan (آ) untuk menyeru sesuatu yang jauh. (ياَ)
untuk semua munada, baik dekat, jauh atau sedang. (وَا)
untuk ratapan, yaitu digunakan untuk meratapi sesuatu yang dianggap sakit,
seperti (وَا
كَبِدِي!) “aduh
liverku.”
(ياَ)
ditentukan dalam menyeru nama Allah ta’ala, sehingga nama Allah tidak
boleh diseru dengan yang lainnya, dan dalam istighatsah (permintaan
tolong), sehingga tidak diperbolehkan meminta tolong dengan selain (ياَ).
(ياَ) dan
(وَا)
ditentukan untuk nudbah (ratapan), sehingga selain keduanya tidak bisa
digunakan untuk nudbah, namun (وَا) dalam nudbah lebih banyak digunakan dibandingkan (ياَ),
karena (ياَ)
digunakan untuk nudbah ketika diamankan dari keserupaan dengan nida’ yang
hakiki, seperti syair,
حُمِّلْتَ
اَمْراً فَاصْطَبَرْتَ لَهُ * وَ قُمْتَ فِيْهِ بِأَمْرِ اللهِ ياَ عُمَراَ !
Pembagian
Munada
Munada
terbagi menjadi lima, yaitu munada mufrad ma’rifat, munada nakirah maqshudah,
munada nakirah ghairu maqshudah, munada mudlaf dan munada syibih mudlaf.3
Munada mufrad alam atau mufrad ma’rifat adalah munada yang tidak
berupa mudlaf atau syibeh mudlaf, baik munada itu berupa tatsniyyah atau jama’,
seperti (ياَ
زَيْدُ), (ياَ زَيْدَانِ),
dan (ياَ زَيْدُونَ).
Munada nakirah maqshudah adalah semua
isim nakirah yang jatuh setelah huruf nida’ dan dimaksudkan untuk
memu’ayyankannya (untuk sesuatu yang tertentu), seperti (ياَ رَجُلُ) “Wahai
anak muda (yang ada dihadapan mutakallim).”
Munada nakirah ghairu maqsudah adalah semua
isim nakirah yang jatuh setelah huruf nida’ yang dimaksudkan tidak untuk
sesuatu yang tertentu, seperti orang buta yang mengucapkan (ياَ رَجُلاً
خُذْ بِيَدِي) “Wahai
anak muda! Peganglah tanganku.”
Munada mudlaf adalah munada yang berupa susunan
mudlaf-mudlaf ilaih, seperti (ياَ غُلاَمَ زَيْدٍ) “Hei pembantunya Zaid.”
Munada syibih mudlaf adalah munada
yang berupa lafal yang membutuhkan pada lafal yang lainnya untuk kesempurnaan
maknanya, seperti (ياَ طاِلِعاً جَبَلاً) “Hei pendaki gunung.”
Hukum Munada
Hukum
dari munada adalah dibaca nashab, adakalanya secara lafdzi atau mahalli.
Dan
amil yang menashabkannya adakalanya berupa fi’il yang dibuang dengan penakdiran
(اَدْعُو)
yang sebagai penggantinya adalah huruf nida’, dan adakalanya huruf nida’ itu
sendiri karena mengandung makna (اَدْعُو). Menurut pendapat yang pertama, maka munada itu menjadi maf’ul
bih bagi fi’il yang dibuang, dan menurut pendapat yang kedua, maka munada
dinashabkan oleh (ياَ).4
Munada
dibaca nashab secara lafdzi (dengan arti munada sebagai isim mu’rab yang dibaca
nashab seperti dibaca nashabnya isim yang mu’rab), ketika munada berupa nakirah
ghairu maqshudah, mudlaf atau munada syibeh mudlaf, seperti (ياَ غَافِلاً
تَنَبَّهْ), (ياَ عَبْدَ
اللهِ) dan
(ياَ حَسَناً
خُلُقُهُ).
Dan
munada dibaca nashab secara mahalli (dengan arti munada itu mabni tapi
bermahall nashab), ketika munada berupa mufrad ma’rifat atau nakirah maqshudah,
seperti (ياَ
زُهَيْرُ) dan
(ياَ رَجُلُ).
Dan kemabnian munada itu sesuai dengan rafa’nya, yaitu dengan dlammah tanpa ditanwin
atau alif atau waw, seperti (ياَ عَلِيُّ), (ياَ مُوسَى), (ياَ رَجُلُ), (ياَ فَتَى), (ياَ رَجُلاَنِ) dan (ياَ مُجْتَهِدُونَ).
Munada yang
Mabni
Ketika
munada, yang seharusnya dimabnikan, sudah mabni sebelum dijadikan munada, maka
dia ditetapkan pada harakat bina’nya, sehingga diucapkan kalau dia dimabnikan
dlamm yang dikira-kirakan yang mencegah dari memperlihatkannya adalah harakat
mabninya yang asli.5
Seperti (ياَ
سِيْبَوَيْهِ), (ياَ حَذَامِ), (ياَ خَباَثِ), (ياَ هَذَا) dan
(ياَ هَؤُلاَءِ).
Dan pengaruh dari dlammahnya mabni yang dikira-kirakan itu dapat terlihat pada
lafal yang mengikuti munada, seperti (ياَ سِيْبَوَيْهِ الْفاَضِلُ).
Ketika
munada berupa mufrad alam yang disifati dengan (ابْنٌ) dan
tidak ada pemisah diantara keduanya, dan (ابْنٌ) diidlafahkan kepada alam, maka diperbolehkan dalam munada dua
wajah, yaitu mendlammahnya untuk dimabnikan dan dibaca nashab, seperti (ياَ خَلِيْلُ
بْنَ اَحْمَدَ) dan
(ياَ خَلِيْلَ
بْنَ اَحْمَدَ),
dan membaca fathah adalah yang lebih baik. Adapun pendlammahannya adalah sesuai
dengan kaidah, karena dia berupa munada mufrad ma’rifat. Sedangkan membacanya
nashab adalah dengan I’tibar kalau (ابْنٌ) adalah zaidah, sehingga (خَلِيْلَ) menjadi mudlaf dan (اَحْمَدَ) menjadi mudlaf ilaih. Pensifatan dengan (ابْنَةٌ)
adalah sama dengan (ابْنٌ).6
Adapun
pensifatan dengan (بِنْتٌ), maka tidak bisa merubah kemabnian mufrad alam, sehingga tidak
diperbolehkan ketika bersamanya kecuali dimabnikan dlamm, seperti (ياَ هِنْدُ
بِنْتَ خاَلِدٍ).
Diwajibkan
mendlammah munada pada semisal (ياَ رَجُلُ ابْنَ خاَلِدٍ) dan (ياَ خاَلِدُ ابْنَ اَخِيْناَ),
karena tidak adanya sifat alam pada munada dalam contoh pertama, dan adanya
sifat alam pada lafal yang diidlafahkan kepada (ابْنٌ)
dalam contoh kedua, karena ketika kita membuang (ابْنٌ),
maka akan kita ucapkan (ياَ رَجُلَ خَالِدٍ) dan (ياَ خاَلِدَ اَخِيْناَ), yang pada pengidlafahan itu tidak ada maknanya.
Begitu
juga diwajibkan untuk mendlammah pada semisal (ياَ عَلِيُّ الْفَاضِلُ ابْنَ سَعِيْدٍ),
karena wujudnya pemisah, karena tidak diperbolehkan memisah diantara mudlaf dan
mudlaf ilaih.
Ketika
munada mudlaf diulang-ulang, maka kita diperbolehkan untuk membaca kedua isim
secara bersamaan, seperti (يَا سَعْدَ سَعْدَ الْأَوْسِ)
atau memabnikan dlamm isim pertama, seperti (يَا سَعْدُ سَعْدَ الْأَوْسِ).
Adapun isim yang kedua, selamanya harus dibaca nashab.7
Munada
yang seharusnya dimabnikan dlamm, ketika syair terpaksa untuk mentanwinnya,
maka diperbolehkan untuk mentanwinnya dengan didlammah atau dinashab. Pada
keadaan yang pertama dia mabni dan pada keadaan kedua dia dii’rabi nashab
seperti alam yang diidlafahkan. Yang pertama seperti syair,
سَلاَمُ اللهِ
ياَ مَكَرٌ عَلَيْهاَ * وَ لَيْسَ عَلَيْكَ ياَ مَطَرُ السَّلاَمُ
Dan
yang kedua seperti syair,
ضَرَبَتْ
صَدْرَهاَ اِلَيَّ وَ قَالَتْ: * ياَ عَدِياًّ لَقَدْ وَقَتْكَ الْأَوَاقِي
Diantara
ulama’ ada yang memilih dimabnikan, ada yang memilih nashab dan ada yang
memilih mabni ketika bersama alam, dan nashab ketika bersama isim jinis.
Faidah:
Ketika
(ابْنُ)
atau (ابْنَةٌ)
berada diantara dua alam, pada selain nida, dan keduanya diinginkan untuk
mensifati alam, maka jalannya adalah tidak mentanwin alam yang ada sebelum
keduanya ketika rafa’, nashab atau jer, karena untuk meringankan, dan hamzahnya
(ابْنُ)
dibuang.8
Sehingga diucapkan
(قَالَ عَلِيُّ
بْنُ اَبِي طاَلِبٍ), (اُحِبُّ عَلِيَّ بْنَ اَبِي طاَلِبٍ) dan
(رَضِيَ اللهُ
عَنْ عَلِيِّ بْنِ اَبِي طاَلِبٍ). Dan juga diucapkan (هِنْدُ ابْنَةُ خاَلِدٍ), (رَأَيْتُ هِنْدَ ابْنَةَ خاَلِدٍ) dan
(مَرَرْتُ
بِهِنْدِ ابْنَةِ خاَلِدٍ).
Adapun
jika keduanya tidak untuk mensifati alam, tetapi untuk mengabarkan alam, maka
alam wajib ditanwin dan hamzahnya (ابْنُ) ditetapkan, sehingga kita ucapkan (خاَلِدُ ابْنُ
سَعِيْدٍ), (إِنَّ خاَلِداً
ابْنُ سَعِيْدٍ) dan (ظَنَنْتُ خاَلِداً ابْنَ سَعِيْدٍ).
Jika
keduanya jatuh diantara alam dan selain alam, maka jalannya adalah mentanwin
alam sebelumnya secara mutlak, meskipun keduanya menjadi sifat bagi alam atau
khabarnya, seperti (هَذَا خاَلِدٌ ابْنُ اَخِيْناَ) dan
(خاَلِدٌ ابْنُ
اَخِيْناَ).
Menyeru Dlamir
Menyeru
dlamir adalah syadz dan langka terjadinya dalam kalam, dan Ibnu ‘Ushfur
meringkasnya hanya dalam syair, sedangkan Abu Hayyan memilih kalau dlamir sama
sekali tidak boleh diseru. Khilaf itu terjadi pada dlamir khithab, sedangkan
menyeru dlamir takallum dan ghaib, maka para ulama’ telah sepakat akan
ketidak-bolehannya,9 sehingga tidak
boleh diucapkan (ياَ أَناَ), (ياَ إِياَّيَ), (ياَ هُوَ) dan (ياَ إِياَّهُ).
Ketika
kita menyeru dlamir, maka kita diperbolehkan untuk memilih untuk mendatangkannya
dengan dlamir rafa’ atau dlamir nashab, sehingga kita ucapkan (ياَ اَنْتَ) dan
(ياَ إِياَّكَ).
Pada kedua kedua keadaan itu, dlamir hukumnya mabni dlamm yang dikira-kirakan
dan bermahall nashab. Semisal dlamir adalah (ياَ هَذَا), (ياَ هَذِهِ) dan (ياَ سِيْبَوَيْهِ), karena dia adalah mufrad ma’rifat.
Menyeru Lafal
yang ada (ال)
Ketika
ingin membuat munada lafal yang ada (ال), maka sebelum lafal itu didatangkan lafal (أَيُّهاَ),
untuk mudzakar, atau (أَيَّتُهاَ), untuk mu’annats, dan keduanya ditetapkan dengan menggunakan
satu lafal ketika bersama tatsniyyah atau jama’ dan dengang menjaga mudzakar
dan mu’annatsnya atau didatangkan dengan isim isyarah,10 seperti (ياَ أَيُّهاَ
الإِنْساَنُ ماَ غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيْمِ؟), (ياَ أَيَّتُهاَ النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
ارْجِعِي اِلَى رَبِّكِ راَضِيَةً مَرْضِيَّةً) dan (ياَ هَذَا الرَّجُلُ وَ ياَ هَذِهِ الْمَرْأَةُ).
Kecuali
jika munadanya berupa lafal Jalalah, maka (ال)
masih ditetapkan dan hamzahnya wajib dijadikan hamzah qatha’ seperti (ياَ أَللهُ). Namun,
kebanyakan ketika bersama lafal jalalah, huruf nida’ dibuang dan sebagai
penggantinya adalah mim yang ditasydidi dengan difathah untuk menunjukkan pada
pengagungan, seperti (اَللَّهُمَّ ارْحَمْناَ). Dan tidak diperbolehkan untuk mensifati lafal (اَللَّهُمَّ),
baik lafal atau mahallnya, menurut qaul shahih, karena itu belum pernah
didengar dari orang Arab,11 Adapun lafal (قُلِ اللَّهُمَّ فاَطِرَ السَّمَوَاتِ وَ الْأَرْضِ), maka itu adalah menggunakan nida’ yang lain, artinya (قُلِ اللَّهُمَّ ياَ فاَطِرَ السَّمَوَاتِ وَ الْأَرْضِ).
Ketika
kita menyeru isim alam yang bebarengan dengan (ال) secara asal kejadian, maka kita wajib membuang (ال),
sehingga kita ucapkan pada (العَبَّاسُ), (الفَضْلُ) dan (السَّمَوأَلُ) dengan (ياَ عَباَّسُ), (ياَ فَضْلُ) dan (ياَ سَمَوْأَلُ).
Faidah:
Lafal
(اَللَّهُمَّ)
digunakan pada tiga keadaan, yaitu:
a. Murni untuk
nida’, seperti (اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي).
b. Diucapkan oleh
orang yang menjawab karena untuk lebih memantapkan pendengar, seperti kita
ditanya (أَخاَلِدٌ
فَعَلَ هَذَا؟) “apakah
Khalid melakukan ini?” lalu kita jawab (اَللَّهُمَّ نَعَمْ) “Allahumma, iya.”
c. Digunakan untuk
menunjukkan pada langkanya terjadinya lafal yang disebutkan bersamanya, seperti
perkataan kita kepada orang yang bakhil (إِنَّ الأُمَّةَ تُعظِمُكَ اللهُمَّ إِنْ
بَذَلْتَ شَطْراً مِنْ ماَلِكَ فِي سَبِيْلِهِ) “umat akan memuliakan kamu, allahumma, jika kamu
menyerahkan sebagian dari hartamu untuk mereka.”12
Lafal Yang
Mengikuti Munada
Jika
munadanya mabni, maka lafal yang mengikutinya ada empat macam, yaitu:13
a. Lafal yang
wajib dibaca rafa’ karena mengikuti pada lafalnya munada, yaitu lafal yang
mengikuti (أَيُّ), (أَيَّةُ) dan
isim isyarah, seperti (ياَ أَيُّهاَ الرَّجُلُ), (ياَ اَيَّتُهاَ الْمَرْأَةُ) dan (ياَ هَذَا الرَّجُلُ وَ ياّ هَذِهِ الْمَرْأَةُ).
b. Lafal yang wajib didlammah karena mabni, sebagai badal dan lafal yang
di’athafkan yang dikosongkan dari (ال) yang keduanya tidak diidlafahkan, seperti (ياَ سَعِيْدُ
خَلِيْلُ) dan (ياَ سَعِيْدُ وَ خَلِيْلُ).
c. Lafal yang
wajib dibaca nashab karena mengikuti pada mahallnya munada, yaitu semua tabi’
yang diidlafahkan yang dikosongkan dari (ال), seperti (ياَ عَلِيُّ اَباَ الْحَسَنِ), (ياَ عَلِيُّ وَ
اَباَ سَعِيْدٍ), (ياَ خَلِيْلُ صَاحِبَ خاَلِدٍ), (ياَ تَلاَمِيْذُ
كُلَّهُمْ اَو كُلَّكُمْ) dan (ياَ رَجُلُ اَباَ خَلِيْلٍ).
d. Lafal yang diperbolehkan dua wajah, yaitu dibaca rafa’ sebagai mu’rab
karena mengikuti pada lafalnya munada dan dibaca nashab karena mengikuti
mahallnya munada, yaitu ada dua bentuk:
1) Na’at yang diidlafahkan
yang bebarengan dengan (ال), demikian itu terjadi pada sifat musytaq yang diidlafahkan
kepada ma’mulnya, seperti (ياَ خاَلِدُ الْحَسَنُ الْخُلُقِ أَو الْحَسَنَ
الْخُلُقِ) dan
(ياَ خَلِيْلُ
الْخَادِمُ الأُمَّةِ أَو الْخاَدِمَ الأُمَّةِ).
2) Na’at atau
taukid atau ‘athaf bayan atau lafal yang di’athafkan yang dikosongkan dari (ال)
yang semuanya berupa mufrad, artinya tidak berupa mudlaf atau syibeh mudlaf,
seperti (ياَ
عَلِيُّ الْكَرِيْمُ أَو الْكَرِيْمَ), (ياَ خاَلِدُ خاَلِدٌ اَو خاَلِداً), (ياَ رَجُلُ
خَلِيْلٌ أَو خَلِيْلاً) dan (ياَ عَلِيُّ وَ الضَّيْفُ أُو وَ الضَّيْفَ).
Ketika
munadanya berupa mu’rab nashab, maka lafal yang mengikutinya selamanya dibaca
mu’rab nashab, seperti (ياَ اَباَ الْحَسَنِ صَاحِبَناَ), (ياَ ذَا
الْفَضْلِ وَ ذَا الْعِلْمِ) dan (ياَ اَباَ خاَلِدٍ وَ الضَّيْفَ),
kecuali jika tabi’ itu berupa badal atau di’athafkan yang dikosongkan dari (ال)
yang keduanya tidak diidlafahkan, maka keduanya dimabnikan, seperti (ياَ اَباَ
الْحَسَنِ عَلِيُّ) dan (ياَ عَبْدَ اللهِ وَ خاَلِدُ).
Membuang Huruf
Nida’
Diperbolehkan
membuang huruf nida’ dengan banyak terjadinya, ketika huruf itu berupa (ياَ)
bukan yang lainnya, seperti (رَبِّ اَرِنِي أَنْظُرْ اِلَيْكَ).
Tidak
diperbolehkan membuang huruf nida’ pada munada mandub, munada mustaghats,
munada muta’ajjab minhu dan munada ba’id, karena maksud dari munada tersebut
adalah memanjangkan suara dan membuang huruf nid’a menafikan maksud itu.14
Qalil
hukumnya membuang huruf nida’dari isim isyarah, seperti dalam syair,
إِذَا هَمَلَتْ
عَيْنِي لَهاَ قَالَ صَاحِبِي * بِمِثْلِكَ هَذَا لَوْعَةٌ وَ غَرَامُ ؟!
Dan
dari isim nakirah maqshudah, seperti dalam syair,
جاَرِيَ لاَ
تَسْتَنْكِرِي عَذِيْرِي * سَيْرِي وَ إِشْفاَقِي عَلَى بَعِيْرِي
Dan
qalil hukumnya membuang huruf nida’ dari isim nakirah ghairu maqshudah dan dari
munada syibeh mudlaf.
Membuang Munada
Terkadang
munada dibuang setelah (ياَ),15 seperti (يَا لَيْتَنِي
كُنْتُ مَعَهُمْ فَأَفُوزُ فَوْزاً عَظِيْماً) yang penakdirannya sesuai dengan maqam, sehingga penakdirannya
dalam ayat itu adalah (يَا قَومُ).
Sebenarnya
(ياَ)
asalnya adalah huruf nida’, sehingga jika munada tidak ada setelahnya, maka dia
akan diberlakukan sebagai huruf yang dimaksud untuk mengingatkan orang yang
men-dengar pada apa yang ada setelah (ياَ). Dan dikatakan, “Jika setelahnya berupa fi’il amar, maka (ياَ)
adalah huruf nida’ dan munadanya dibuang, seperti (أَلاَ ياَ
اسْجُدُوا)
dengan penakdiran (أَلاَ ياَ قَومُ). Dan jika tidak berupa fi’il amar, maka dia adalah huruf
tanbih, seperti (ياَ لَيْتَ قَومِي يَعْلَمُونَ).
Munada
Diidlafahkan Kepada Ya’ Mutakallim
Munada
yang diidlafahkan kepada ya’ mutakallim, ada tiga bentuk, yaitu isim yang
shahih akhir, isim yang mu’tal akhir dan sifat (yaitu isim fa’il, isim maf’ul
dan mubalaghah isim fa’il).16
Jika
yang diidlafahkan kepada ya’ adalah isim shahih, selain (أَبٌ) dan
(أُمٌّ),
maka yang banyak terjadinya adalah membuang ya’ mutakallim dan cukup dengan
kasrahnya huruf sebelum ya’ mutakallim, seperti (ياَ عِباَدِ
فَاتَّقُونِ).
Dan diperbolehkan menetapkan ya’ mutakallim dengan disukun atau difathah,
seperti (ياَ
عِباَدِيْ لاَ خَوفٌ عَلَيْكُمْ) dan (ياَ عِباَدِيَ الَّذِيْنَ أَسْرَفُوا عَلَى
أَنْفُسِهِمْ).
Dan juga diperbolehkan untuk mengganti kasrah menjadi fathah dan ya’ menjadi
alif, seperti (ياَ حَسْرَتاَ عَلَى ماَ فَرَّطْتُ فِي جَنِبِ
اللهِ).
Jika
yang diidlafahkan kepada ya’ mutakallim adalah isim yang mu’tal akhir, msks
diwajibkan untuk menetapkan ya’ dengan difathah bukan yang lainnya, seperti (ياَ فَتاَيَ وَ
ياَ حاَمِيَ).
Jika
yang diidlafahkan kepada ya’ mutakallim adalah sifat yang shahih akhirnya, maka
diwajibkan untuk menetapkan ya’ dengan disukun atau difathah, seperti (ياَ مُكْرِمِيْ) dan
(ياَ مُكْرِمِيَ).
Jika
yang diidlafahkan kepada ya’ mutakallim adalah (أَبٌ) dan
(أُمٌّ),
maka diperbolehkan padanya apa yang telah diperbolehkan pada munada isim shahih
akhir, sehingga kita ucapkan (ياَ اَبِ وَ ياَ أُمِّ), (ياَ أَبِيْ وَ ياَ أُمِّيْ), (ياَ أَبِيَ وَ ياَ اُمِّيَ) dan (ياَ أَباَ وَ ياَ أُماَّ).
Dan
juga diperbolehkan untuk membuang ya’ mutakallim dan sebagai gantinya adalah
ta’ ta’nits yang dikasrah atau difathah, seperti (ياَ أَبَتِ وَ
ياَ أُمَّتِ) dan
(ياَ أَبَتَ وَ
ياَ أُمَّتَ).
Dan juga diperbolehkan untuk mengganti ta’ tersebut dengan ha’ (هـ)
ketika waqaf, seperti (ياَ أَبَهْ وَ ياَ أُمَّهْ).
Ketika
munada diidlafahkan kepada munada yang diidlafahkan kepada ya’ mutakallim, maka
ya’ harus ditetapkan, seperti (ياَ ابْنَ أَخِيْ) dan (باَ ابْنَ خاَلِي), kecuali (ابْنَ أُمّ) atau (ابْنَ عَمّ), maka diperbolehkan untuk menetapkan ya’, namun yang banyak
terjadinya adalah membuangnya dan menggantikannya dengan kasrah atau fathah,
seperti (قَالَ
ياَ ابْنَ أُمِّ إِنَّ الْقَومَ اسْتَضْعَفُونِي) dan (قَالَ يَا ابْنَ أُمَّ لاَ تَأْخُذْ بِلِحْيَتِي
وَ لاَ بِرَأْسِي). Kasrah adalah dengan niat ya’ yang dibuang, dan fathah adalah
dengan niat alif yang dibuang yang asalnya adalah ya’ mutakallim.
Munada Mustaghats
Istighatsah adalah menyeru orang yang bisa menolong dari menolak bencana,17
seperti (ياَ
لَلْأَقْوِياَءِ لِلضُّعَفَاءِ) “Hei orang-orang yang kuat! Tolonglah orang-orang yang
lemah.” Yang dimintai
tolong dinamakan mustaghats dan yang meminta tolong atau yang
mendapatkan pertolongan dinamakan mustaghats lah.
Huruf
nida’ yang digunakan untuk istighatsah hanyalah (ياَ) dan
tidak diperbolehkan untuk membuangnya dan tidak boleh juga membuang mustaghats.
Adapun mustaghats lah, maka boleh dibuang, seperti (ياَ لَلَّهِ).
Mustaghtas
mempunyai tiga keadaan, yaitu:18
a. Dijerkan dengan
lam zaidah yang wajib difathah, seperti syair,
تَكَنَّفَنِيْ
الْوُشَاةُ فَأَزْعَجُوْنِي * فَياَ لَلنَّاسِ لِلْواَشِي الْمَطاَعِ!
Dan
lam itu tidak boleh dikasrah kecuali ketika mustaghats diulang-ulang yang tidak
bebarengan dengan (ال), seperti syair,
يَبْكِيْكَ
ناَءٍ بَعِيْدُ الدَّارِ مُغْتَرِبٌ * ياَ لَلْكُهُولِ وَ لِلشَّبَّانِ
لِلْعَجَبِ!
b. Diakhiri dengan
alif zaidah untuk menguatkan istighatsah, seperti syair,
يَا يَزِيْداَ
لأمِلٍ نَيْلَ عِزِّ * وَ غِنىً بَعْدَ فاَقَةٍ وَ هَوَانٍ!
c. Ditetapkan pada
keadaannya semula, seperti syair,
أَلاَ ياَ
قَوْمُ لِلْعَجَبِ الْعَجِيْبِ! * وَ لِلْغَفَلاَتِ تَعْرِضُ لِلْأَدِيْبِ!
Adapun
mustaghats lah, maka disebutkan dalam kalam dan selamanya wajib dijerkan dengan
lam yang dikasrah, seperti (ياَ لَقَومِي لِلْعِلْمِ!).
Munada
Muta’ajjab Minhu
Munada
muta’ajjab minhu adalah seperti munada mustaghats dalam hukumnya,19 sehingga kita
ucapkan dalam kekaguman kita pada banyaknya air, (ياَ لَلْماَءِ), (ياَ ماَءَا) dan
(ياَ ماَءُ!).
Munada Mandub
Nudbah adalah menyeru perkara yang dirasa sakit atau
diadukan rasa sakitnya,20 seperti (وَا كَبِدَاهْ!) “aduh liverku!”
Munada’
mandub hanya menggunakan perabot nida’ yang berupa (وَا),
namun terkadang menggunakan (ياَ) ketika tidak ada kesamaran dengan nida’ yang hakiki.
Dalam
munada mandub tidak diperbolehkan membuang munada dan tidak boleh juga membuang
huruf nida’nya.
Munada
mandub mempunyai tiga wajah, yaitu:21
a. Diakhiri dengan
alif zaidah untuk menguatkan pada rasa sakit, seperti (وَا كَبِداَ!).
b. Diakhiri dengan
alif zaidah dan ha’ saktu, seperti (وَا حُسَيْناَهْ).
Kebanyakan
penambahan ha’ terjadi dalam waqaf, dan ketika diwashalkan maka ha’ itu
dibuang, kecuali ketika dlarurat, seperti (وَا حَرَّ قَلْباَهُ مِمَّنْ قَلْبُهُ شَبِمُ).
Ketika itu maka kita diperbolehkan untuk mendlammah ha’ itu karena disamakan
dengan ha’ dlamir, atau mengkasrahnya berdasarkan kaidah asal dalam bertemunya
dua huruf mati. Namun, al-Farra’ telah memperbolehkan untuk menetapkannya dalam
keadaan washal dengan didlammah atau difathah pada saat selain dlarurat.
c. Ditetapkan pada
keadaanya semula, seperti (وَا حُسَيْنُ!).
Munada
mandub harus berupa isim ma’rifat yang tidak samar. Sehingga tidak
diperbolehkan membuat munada mandub dari isim nakirah, sehingga tidak boleh
diucapkan (وَا
رَجُلُ),
atau dari isim ma’rifat yang mubham atau samar, seperti isim maushul dan isim
isyarah, sehingga tidak boleh diucapkan (وَا مَنْ ذَهَبَ شَهِيْدَ الْوَفاَءِ),
kecuali isim yang mubham itu berupa isim maushul yang sudah masyhur disifati,
seperti (وَا
مَنْ حَفَرَ بِئْرَ زَمْزَمَ).
Munada Murakkham
Tarhim adalah membuang huruf akhirnya munada karena
untuk memperingan, seperti (ياَ فَاطِمَ) yang asalnya adalah (ياَ فاَطِمَةُ). Munada yang huruf akhirnya dibuang dinamakan Murakkham
Yang
boleh diitarhim hanyalah dua perkara, yaitu:22
a. Isim yang
diakhiri dengan ta’ ta’nits, baik berupa isim alam atau selain alam, seperti (ياَ عاَئِشَ), (ياَ ثِقَ) dan
(ياَ عاَلِمَ)
dari tarhimannya (عاَئِشَةُ), (ثِقَةُ) dan (عاَلِمَةُ).
b. Alam untuk mudzakar
atau mu’annats dengan syarat harus tidak murakkab dan hurufnya lebih dari tiga,
seperti (ياَ
سُعاَ) dan
(ياَ جَعْفُ)
dalam tarhimannya (سُعاَدُ) dan (جَعْفَرٌ).
Dalam
tarhim adakalanya huruf yang dibuang hanya satu, dan itu adalah yang paling banyak
terjadinya, atau dua huruf, seperti (ياَ عُثْمَ) dan (ياَ مَنْصُ) dalam tarhimannya (عُثْماَنُ) dan (مَنْصُوْرُ).
Dalam
munada murakkham ada dua lughat:23
a. Huruf akhirnya
ditetapkan pada keadaannya semula sebelum ditarhim, yaitu didlammah atau
difathah atau dikasrah, seperti (ياَ مَنْصُ), (ياَ جَعْفَ) dan (ياَ حاَرِ), yang itu adalah lughat yang lebih masyhur. Atau yang
dinamakan dengan lughat man yantadzir.
b. Huruf akhirnya
diharakati dengan harakatnya huruf yang dibuang, seperti (ياَ جَعْفُ) dan
(ياَ حاَرُ).
Atau disebut dengan lughat man la yantadzir.
Sumber: Kitab Jami’Durusul Lughoh Arabiyah
1Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 147
2Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 148
3Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 148
4Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 149
5Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 149
6Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 150
7Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 150
8Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 152
9Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 153
10Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 153
11Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 154
12Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 154
13Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 154-155
14Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 156
15Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 158
16Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 159-160
17Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 160
18Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 161-162
19Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 163
20Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 163
21Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 163
22Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 164
23Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 165
Muantap ryan
BalasHapusMumtaz..
BalasHapus